NONGKRONG

Aktivitas nongkrong tidak lahir kemarin sore. Nongkrong di kalangan remaja adalah hal yang biasa, terutama remaja laki-laki. Nongkrong atau ngumpul dengan teman-teman, siapa yang tidak mau? Saat nongkrong remaja melakukan hal yang mereka sukai. Biasanya mereka bermain kartu (remi). Ada juga yang ngobrol dan ngerumpi. Terkadang disela obrolan, mereka asyik dengan ponselnya yang setia menemani dengan fitur musik, internet, facebook dan email. Disamping itu, mereka bisa pasang aksi, jual tampang, bercanda ria, menggoda orang yang lewat, atau hanya sekadar menikmati pemandangan di depannya untuk cuci mata. Kegiatan seperti ini telah membudaya di kalangan remaja dari zaman ke zaman. Bahkan tidak hanya remaja saja yang menyenangi duduk-duduk di pinggir jalan tetapi juga orang dewasa dan orang tua.


Nongkrong bisa menjadi sarana untuk menghilangkan kejenuhan terhadap rutinitas sehari-hari. Sebagai kegiatan hiburan, tentu saja kegiatannya bersifat menghibur. Seperti ngobrol, bermain gitar, atau menyanyi. Akan tetapi, nongkrong sering terlihat berkulit busuk sehingga dipandang buruk rupa karena diekori tindakan lain yang negatif, sia-sia, dan “melanggar”. Sebutlah, mabuk-mabukan dan menggoda orang yang lewat. Oleh karena itu, tempat-tempat yang kiranya dapat dijadikan tempat nongkrong perlu diawasi. Jangan sampai tempat yang semula aman dan nyaman berubah menjadi tempat yang seram dan menakutkan.

Saya pernah bertanya kepada seorang yang mania nongkrong mengenai plus minus nongkrong. Menurut dia, manfaat nongkrong adalah sebagai ajang untuk pengakraban dan belajar tentang pengalaman orang lain, killing time daripada bengong, menambah pengetahuan, menambah teman dan tentunya tambah gaul. Terlepas dari manfaatnya, nongkrong juga bisa merugikan karena membuat dia lupa waktu dan tanggung jawab, semakin boros (beli kopi dan rokok), pergaulan kurang terkendali sehingga mudah terpengaruh lingkungan.

Nongkrong adalah sarana, baik-tidaknya tergantung bagaimana orang menggunakannya. Nongkrong tidak selamanya negatif, tidak pula selamanya positif. Kalau yang menggunakan orang baik, maka baiklah nongkrong itu. Misalnya, bila nongkrongnya berbumbu bahasan karya sastra, mungkin ia akan terbiasa menelisik sastra. Bila biasa tongkrongan politik, kepiawaian politik ia dapat. Bila biasa nongkrong berbincang tren otomotif, kritik terhadap modifikasi mesin sanggup ia keluarkan. Namun ketika sekelompok pemuda berkumpul tanpa ada kegiatan yang pasti, maka timbullah keisengan yang bisanya cenderung kearah negatif. Pemerintah dan masyarakat setidaknya memberikan perhatian kepada fenomena yang mulai menjamur ini. Tidak selamanya kehidupan ini kita isi dengan nongkrong saja. Kita diharapkan untuk kembali ke dunia nyata dengan berani.

Sebagai generasi bangsa yang berwawasan, marilah kita isi kegiatan nongkrong dengan hal-hal yang positif dan bermanfaat, jangan sekadar ngobrol atau ngopi. Saat ngobrol jangan hanya membicarakan orang lain, tapi diskusikanlah mengenai pendidikan dan masa depan yang harus kita takhlukan.

0 coment:

Posting Komentar

speak up !